Tentang
Luqman: siapakah yang masih mengingat cerita yang menarik dan menyejukan itu?
Ketika Luqman diperintahkan oleh majikannya untuk mengambil 'bagian terbaik'
dari hewan kurban, ia mengambilkan 'hati dan lisan' hewan tersebut untuk
tuannya. Dan ketika ia disuruh untuk mengambil bagian terburuk, ia kembali
membawa bagian yang sama. Tuannya heran dan bertanya: "Ketika aku
menyuruhmu mengambilkan bagian terbaik dari orang hewan kurban, engkau
membawakanku 'hati dan lidah'. Sekarang, engkau juga memberikan kepadaku organ
yang sama. Kenapa?" Dengan sangat bijak Luqman menjelaskan bahwa tidak
ada yang paling baik dari orang makhluk, kecuali hati dan lisannya. Dan
sebaliknya: tidak ada yang paling jelek dan kotor dari hamba selain 'hati dan
lisannya'.
Kanjeng
Nabi secara detil menjelaskan kepada kita: "Ketahuilah bahwa di dalam
jasad itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka jasad akan baik seluruhnya.
Namun jika ia rusak, maka jasad (juga) rusak seluruhnya. Itulah 'hati'".
Hati
adalah raja dalam tubuh. Ia penguasa. Perintah dan larangannya ditaati oleh
seluruh prajuritnya: anggota badan. Namun, jika raja tidak pernah
"dijamu" dan diberi "masukan", ia akan lemah dan tidak
dapat memerintah dengan baik dan berwibawa. Kalau 'sang raja' sudah tidak
berwibawa lagi, otomatis rakyatnya akan rusak.
Oleh karenanya, 'sang raja' harus selalu diajak
berjalan-jalan. "Wisata Hati". Ia harus dibawa melintasi lautan
hikmah. Agar ia tidak lelah dan lesu. Imam Ali ibn Abi Thalib menjelaskan: "Rehatkanlah
hati itu dan carikan untuknya sentuhan hikmah. Karena ia merasa bosan,
sebagaimana halnya tubuh."
Hikmah. Ya, hikmah. Ada apa dengan hikmah? Hikmah adalah
"mutiara yang hilang" dari setiap Muslim. Barangsiapa yang
menemukannya, ia lebih berhak untuk memungutnya kembali, demikian bunyi sebuah
adagium hikmah. Saking berharganya 'hikmah' itu, Allah menyatakan: "Barangsiapa
yang diberi hikmah, ia telah dikarunia kebaikan yang banyak...
(Qs. Al-Baqarah [2]: 269).
(Qs. Al-Baqarah [2]: 269).
Wisata hati adalah wisata yang sangat menyenangkan. Jika
kita tahu arah dan area wisata itu. Jika tidak, hasilnya juga tidak akan baik.
Maka, ia harus pergi ke lautan hikmah, seperti yang disebutkan Imam Ali ra.
Agar ia jangan cepat bosan, lelah dan lesu. Ibarat tubuh, hati juga harus "diberi
makan" dan "minum". Dengan demikian, ia akan tetap eksis dan
fit.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan: "Barangsiapa
yang menginginkan hati yang bersih, hendaklah ia lebih mendahulukan Tuhannya
ketimbang syahwatnya. Karena hati yang 'terpaut' oleh syahwat tertutup dari
Allah sesuai dengan kadar 'keterpautannya' dengan syahwat itu. Hati adalah
'wadah' Allah di atas bumi-Nya. Maka hati yang paling dicintainya adalah yang
lebih 'tinggi' (kadar kesuciannya), lebih keras (kuat) dan lebih bersih. Jika hati
itu diberi makan dengan 'dzikir', disiram dengan tafakkur dan dibersihkan dari
cela, ia akan (mampu) melihat berbagai keajaiban dan akan diilhami oleh
hikmah."
Subhanallah! Itulah daerah
dan kawasan 'wisata hati'. Tidak banyak ternyata. Cukup tiga saja: dzikir,
tafakkur dan bersih dari cela. Adakah yang mengatakan bahwa ketiga hal
tersebut berat? Atau, ada yang mengatakan bahwa tiga kawasan itu sulit ditempuh
dan dilewati? Tentu, jawabannya lebih bijak jika disimpan di dalam 'hati'
masing-masing.
Dzikir. Mengingat. Mengingat apa saja. Terutama mengingat
Allah. Allah Mahamengetahui dan Mahabijaksana. Ia tidak pernah lalai dari apa
yang dikerjakan oleh makhluk-Nya. Ia juga tidak pernah
lupa untuk membalas amal hamba-Nya. Baik amalan itu saleh, maupun jelek. Dalam dzikrullah,
Ia sendiri berjanji akan mengingat orang yang mengingat dan menyebut-Nya: "Ingatlah
Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian..." (Qs. Al-Baqarah [2]: 152).
Tentunya setiap yang melakukan 'perniagaan' dengan Allah tidak ada yang
dirugikan sedikitpun.
Tafakkur. Tafakkur adalah bagian dari ibadah. Bukankah nabi Ibrahim, bapak monoteis, adalah
contoh ideal dalam tafakkur? Dalam gelap gulita ia ber-tafakkur:
ia mengira 'bintang' sebagai Tuhannya. Ketika bintang itu tenggelam, ia pun
kecewa. Karena yang dapat tenggelam berarti bukan Tuhan. Ia benci kepada 'Tuhan
yang tenggelam'. Ketika ia melihat 'bulan' muncul. Ia kembali mengira bahwa itu
adalah 'Tuhannya'. Namun ketika bulan (juga) tenggelam, ia kembali kecewa.
Terakhir, ia melihat 'matahari' terbit. Ia mengira (juga) bahwa itulah
Tuhannya, karena dilihatnya lebih besar, lebih terang. Namun matahari juga
mengecewakannya.
Hasil dari kekecewaannya itu ia kabarkan kepada kaumnya:
ia berlepas dari apa yang mereka sembah dan persekutukan. Dan pada akhirnya, ia
sampai kepada nilai tafakkur-nya: Tuhan bukan bintang, bulan atau
matahari. Tuhannya adalah yang menciptakan langit dan bumi, termasuk isinya:
bintang, bulan dan matahari. Akhirnya, tafakkur-nya membuahkan gumpalan
keyakinan yang tak tergoyahkan (Qs. Al-An'am [6]: 75-79).
Baginda Nabi Muhammad saw juga demikian. Sebelum jadi
Rasul, beliau adalah ahli tafakkur. Beliau suka ber-tahannuts di
Gua Hira. Hal ini diceritakan oleh istrinya tercinta, Humaira Aisyah ra. "Beliau
suka menyendiri kemudian bertahannuts di dalam Gua Hira beberapa malam
lamanya" (HR Bukhari-Muslim). Kemudian beliau menyuruh umatnya agar
ber-tafakkur: memikirkan ciptaan Allah, "Tafakkaru fi
khalqillah..." (Bertafakkurlah tentang ciptaan Allah...) (Dikeluarkan
oleh Dailamiy di dalam kitab al-Firdaus).
Ternyata kebiasaan ber-tafakkur sudah dilakukan
oleh orang-orang terdahulu. Ummu Darda sendiri ketika ditanya tentang perbuatan
Abu Darda yang paling afdhal, ia menjawab: tafakkur dan ber-iktibar.
Hasan Al-Bashri menyatakan: "Tafakkur saa'atan afdhalu min qiyami
lailatin" (Bertafakkur satu saat lebih baik dari shalat satu malam
suntuk).
Umar ibn Abdul Aziz juga berkata: "Al-Ta'ammul fi
ni'amillah min afdhal al-'ibadat" (Memikirkan (secara jeli) nikmat
Allah salah satu bentuk ibadah yang paling baik). Maka ber-tafakkurlah!
Membersihkan hati dari 'cela'. Sebab hati itu seperti
besi: bisa kotor dan berkarat. Kalau sudah berkarat tentunya agak sulit untuk
membersihkannya. Meskipun bisa, biasanya tidak sebersih asalnya. Namun 'hati'
bukanlah 'besi'. Ia dapat bersih seperti sediakala: bersinar dan bercahaya
kembali.
Yang membuat hati kita berkarat adalah 'debu
modernisasi', kabut kemajuan yang sudah tak terkontrol, belum lagi 'limbah
pabrik kemaksiatan'. Semuanya menutup mata hati. Membuatnya tidak lagi tajam
dan jeli. Cahayanya "redup": tidak bertenaga dan tidak memiliki
pesona lagi. Hati harus dilatih (riyadhah) agar dapat mengalahkan hawa
nafsu. Cinta dunia, harta, sombong, congkah, pongah, kikir (bakhil),
ghibah, namimah, suka melirik kekayaan orang lain, dan sebagainya adalah
bentuk 'cela' yang dapat mengotori hati.
Kesemuanya akan bermuara dan berkumpul. Kemudian akan
melahirkan apa yang disebut dengan "hubb al-dunya" (cinta
dunia). Dan pada gilirannya melahirkan "karahiyah al-maut":
takut dan enggan untuk mati. Oleh karena itu, Kanjeng Nabi selalu mengingatkan
agar hati selalu diarahkan untuk (selalu) mengingat maut. "Aktsiru min
dzikr hadzim al-ladzat" (Perbanyaklah mengingat pemutus segala
kenikmatan).
Aisyah bertanya kepada Nabi saw: "Wahai
Rasulullah, adakah seseorang yang dibangkitkan (pada hari kiamat) bersama para
syuhada?" "Ya, ada." kata Rasul. "Yaitu orang yang
mengingat maut dalam sehari sebanyak dua puluh kali”.
Dengan mengingat mati, orang hanya akan ingat untuk
berbuat kebaikan. Ia lupa untuk 'menggunjingkan' kejelekan dan aib orang lain.
Karena ia sadar bahwa amalnya belum tentu lebih baik dari orang yang
digunjingkannya. Bisa jadi orang yang menurutnya buruk dan banyak dosa,
ternyata lebih mulia di sisi Allah.
Orang yang sadar bahwa kematian itu dekat, ia tidak akan
berani "korupsi" dan memakan harta rakyat kecil. Ia sadar bahwa apa
yang ia makan akan dipertanggungjawabkan di pengadilan Tuhan yang Maha Adil.
Tentunya "catatan" dan "dokumen" Tuhan lebih rapi dan
terjamin validitasnya.
Lahirnya kesadaran seperti itu akan menghilangkan 'cela'
dan keburukan yang bersemayam di dalam hati. Sehingga, karat hatinya dapat
pudar. Hati adalah cermin Allah. Ia tidak akan rela dan ikhlas jika cermin-Nya
itu kotor: karena ia tidak dapat ditembus oleh cahaya hidayah-Nya. Mari kita
mulai "Wisata Hati" ini.
Wallahu a'lamu bi al-shawab.
Ibnoe
Dzulhadi
(Kairo,4 April 2005 )
(Kairo,
0 komentar:
Post a Comment